![]() |
4 Majas/Gaya Bahasa |
4 Majas/Gaya Bahasa
Dalam berbahasa, baik ragam
berita maupun ragam tulis lain, lebih-lebih ragam sastra, selalu dikenal
penggunaan majas/gaya bahasa. Hal mi dimaksudkan untuk memperoleh diksi!pilihan
kata yang tepat dalam menampilkan gagasannya.
Apalagi jika hendak
mendeskripsikan kejadianlperistiwa secara efektif. Untuk keperluan tersebut,
pengarang harus memilih kata (diksi) dan menyusun kalimat-kalimat yang bergaya,
yang memiliki daya pelukisan. Daya pelukisan atau plastik bahasa dapat diciptakan
melalui penggunaan kata-kata kiasan, sindiran, perbandingan, dan sebagainya
yang disebut gaya bahasa.
Menurut Badudu, (1975: 70-85)
gaya bahasa dapat dibedakan atas:
1) gaya bahasa perbandingan;
2) gaya bahasa sindiran;
3) gaya bahasa penegasan; dan
4) gaya bahasa pertentangan.
Gaya Bahasa Perbandingan Gaya bahasa perbandingan meliputi:
1. Metafora
Gaya bahasa yang membandingkan
suatu benda dengan benda lain secara langsung. Misalnya:
— Pemuda adalah tulang punggung
negara.
— Mendadak darah saya mendidih
mendengarkan katak atanya yang kasar.
2. Personifikasi
Sering juga disebut
“pengorangan/penginsanan”, yaitu benda-benda mati digambarkan memiliki sifat
dan perbuatan seperti manusia. Misalnya:
— Angin menggosok-gosokkan
punggungnya pada ilalang.
— Bulan tersenyum menyaksikan
kebahagiaan kedua mempelai.
3. Asosiasi
Gaya bahasa mi memberikan
perbandingan antara suatu benda yang sudah disebutkan. Perbandingan tersebut menimbulkan
asosiasi terhadap benda tadi sehingga gambaran tentang benda atau hal yang
disebutkan itu menjadi lebih jelas. Misalnya:
— Mukanya pucat bagai bulan
kesiangan. (Bulan yang kesiangan, bulan yang masih tampak ketika matahari sudah
terbit, warnanya kuning pucat, menimbulkan asosiasi terhadap muka orang yang
dilukiskan itu)
— Semangatnya keras bagai baja.
4. Alegori
Gaya bahasa mi memperlihatkan
perbandingan utuh. Beberapa perbandingan yang bertaut satu dengan yang lain
membentuk satu kesatuan utuh. Misalnya: Hidup kita diumpamakan dengan biduk atau bahtera yang terkatung katung di
tengah lautan. Hidup yang harus ditempuh diumpamakan dengan lautan yang
harus diarungi.
Kesukaran yang mungkin kita temui
dalam kehidupan diumpamakan dengan topan dan badai. Suami istri yang harus
menempuh hidup diumpamakan dengan nahkoda dan juru mudi yang harus mengemudikan
bahtera hidup tadi. Kebahagiaan atau tujuan hidup diumpamakan dengan tanah tepi
yang harus dicapai. Jika perbandingan tersebut dihubung-hubungkan menjadi satu,
maka jadilah ia suatu perbandingan yang utuh (alegori).
Dalam pesta perkawinan, kita
dengar orang tua yang memberi wejangan kepada kedua mempelai berkata,
“Hati-hatilah kamu mendayung
bahtera hidupmu, mengarungi lautan penuh bahaya, batu karang, gelombang, topan,
dan badai. Apabila nahkoda dan juru mudi senantiasa seia sekata dalam
melayarkan bahteranya, niscaya akan tercapai tanah tepi yang menjadi idaman.”
5. Simbolik
Gaya bahasa kiasan yang
melukiskan suatu keadaan dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai symbol atau
perlambang.
— bunglon, lambang orang yang tak
berpendirian tetap.
— Kekasih, lambang Tuhan.
6. Tropen
Gaya bahasa kiasan yang
mempergunakan kata-kata yang tepat dan sejajar artinya dengan pengertian yang dimaksud.
Misalnya:
— Besok Bapak Presiden akan
terbang ke Surabaya.
— Dia duduk melamun, hanvut
dibawa perasaannya.
7. Metonimia
Gaya bahasa yang menggunakan nama
merek yang mengasosiasikan sebuah benda yang memang sangat dikenal dengan nama
merek tersebut.
— Ayah selalu men gisap
Commodore. (Commodore adalah merek rokok). Men gisap Commodore yang
dimaksud adalah mengisap rokok
merek Commodore. Nama Commodore berasosiasi dengan rokok.
— Dia datang memakai Kijang
(Kijang merupakan merck mobil, bukan nama binatang)
8. Litotes
Suatu cara mengemukakan sesuatu
dengan maksud merendahkan din. Namun, hal yang dinyatakan tidak sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Misalnya:
— Jika Anda tidak berkeberatan,
silakan datang ke gubug saya! (Padahal rumah yang mewah)
— Terimalah barang yang tak
berharga ini sebagai tanda mata. (Padahal barang yang mahal dan mewah)
9. Sinekdoke
Suatu cara mengemukakan sesuatu
dengan menyebutkan bagian-bagiannya saja atau sebaliknya; menyatakan suatu keseluruhan
dengan maksud sebagian saja. Pertama, yaitu yang menyatakan sebagian untuk
keseluruhan disebut pars pro toto, sedangkan yang kedua, yaitu yang menyebutkan
keseluruhan tetapi dimaksudkan sebagian saja disebut totem pro parte.
Contoh pars pro toto:
— Sudah lama saya tidak melihat
batang hidungnya.
— Untuk dapat melihat pertunjukan
itu, setiap kepala diharuskan membayar Rp500,00.
Contoh totem pro parte:
— Dalam pertandingan kemarin
petang, Jakarta berhasil mengungguli Balikpapan den gan 3-0 langsung.
— Perang Dunia II berakhir pada
tahun 1942.
10. Eponim
Suatu cara melukiskan sesuatu
dengan mengambil sifat sifat yang dimiliki oleh nama-nama yang telah terkenal.
Misalnya:
— Lihatlah, Srikandi-Srikandi
kita sedang berbaris dengan tegapnya!
— Mengapa pada pertandingan
kemarin Pele kita tidak diikut sertakan?
Nama Srikandi melambangkan gadis
pemberani, sedangkan Pele (pemain sepak bola legendaris dan Brazil) untuk
menyatakan seseorang yang sangat pandai bermain sepak bola.
11. Hiperbola
Suatu cara untuk menyatakan
sesuatu dengan berlebih lebihan. Misalnya:
— Suaranya menggelegar membelah
angkasa.
— Keringatnya menganak sun gai.
12. Eufimisme
Ungkapan penghalus; suatu cara
mengemukakan pikiran atau perasaan dengan menggunakan kata-kata yang baik agar
tidak menyinggung perasaan orang lain. Misalnya:
— orang gila disebut berubah akal
— pelayan toko disebut pramuniaga
13. Alusio
Pernyataan atau maksud yang
disampaikan secara kias, tetapi hanya sebagian saja karena masyarakat dianggap sudah
mengetahui kelanjutan dan maksud yang sebenarnya. Misalnya:
— Sudah selayaknya dalam setiap
usaha kita harus selalu berakit-rakit ke hulu.
— Jangan begitu, masa sudah
gaharu cendana pula.
14. Antonomasia
Gaya bahasa yang menggunakan ciri
fisik seseorang untuk dipakai sebagai nama panggilan, seperti orang gemuk yang
dipanggil Si Gemuk, orang yang tinggi dinamai Si Jangkung, orang yang kepalanya
botak dinamai Si Botak, dan sebagainya.
15. Perifrasis
Gaya bahasa perifrasis ialah gaya
bahasa penguraian. Sepatah kata diganti dengan serangkaian kata yang mengandung
arti yang sama dengan kata yang digantikan. Misalnya:
— Pagi-pagi berangkatlah kami.
Ketika Sang Surya keluar dan
peraduannya, berangkatlah kami.
— Kereta api itu berlari terus.
Kuda besi yang panjang itu
berlari terus.
Gaya Bahasa Sindiran
1. Ironi
Suatu cara menyindir dengan
mengatakan yang sebaliknya.
Misalnya:
— Baru pukul 08.00 mengapa sudah
ban gun?
— Wah, pintar memang kau,
mengerjakan soal semudah itu tidak satu pun yang betul.
2. Sinisme
Gaya bahasa sinisme juga gaya
bahasa sindiran, tetapi lebih kasar daripada ironi. Perbedaannya terletak pada nada
sindiran yang kasar. Contohnya:
— Muntah aku melihat perangaimu
yang tak juga pernah berubah ini!
— Jika dikatakan tertawanya
tertawa sinis, artinya dalam nada tawanya terdengar nada ejekan.
3. Sarkasme
Suatu ejekan atas sindiran dengan
kata-kata yang kasar.
Misalnya:
— Tulikah kamu, dipanggil sejak
tadi tidak dating datang juga.
Gaya Bahasa Penegasan
1. Pleonasme
Suatu cara memperjelas maksud
dengan menggunakan kata berlebih. Biasanya dengan memberi keterangan di belakang
kata atau bagian kalimat yang diperjelas maksudnya tersebut.
Misalnya:
— Benar, peristiwa itu kusaksikan
dengan mata kepalaku sendiri.
— Dengan cepatnya pesawat itu
terbang ke angkasa meninggalkan landasan.
2. Repetisi (pengulangan)
Suatu cara untuk memperkuat makna
atau maksud dengan mengulang kata atau bagian kalimat yang
maksudnya hendak diperkuat.
Misalnya:
— Untuk mencapai cita-citamu itu,
satu hal jangan kau lupakan ialah belajar, belajar, dan sekali lagi belajar.
— Kita harus bersatu, bersatu,
sekali lagi bersatu, seperti bersatunya kelima Jan dalam kepalan.
3. Pararelisme
Jika dalam bahasa prosa gaya
pengulangan kata untuk penegasan dinamakan repetisi, maka dalam pulsi hal tcrsebut
dinamakan paralelisme. Bila kata yang diulang terdapat pada awal kalimat
disebut anafora dan jika pada akhir kalimat disebut epifora.
Contoh anafora:
Junjunganku,
Apatah
kekal
Apatah
tetap
Apatah
tak bersalin rupa
Apatah
boga sepanjang masa
Amir
Hamzah
Contoh epifora:
Kalau
kau mau, aku akan datang
Jika
kau kehendaki, aku akan datang
Bila
kau minta, aku akan datang
4. Tautologi
Gaya bahasa penegasan dengan
mengulang beberapa kali kata dalam sebuah kalimat. Dapat juga dengan mempergunakan
beberapa kata bersinonim berturut-turut dalam sebuah kalimat, yang seperti mi
disebut gaya bahasa sinonimi karena mempergunakan kata-kata yang bersinonim.
Misalnya:
— Disuruhnya aku bersabar,
bersabar, dan sekali lagi aku bersabar, tetapi aku tak tahan lagi.
— Tidak, Lidj,jk mungkin dia akan
melakukan perbuatan yang dapat menjatuhkan nama baik keluarga.
Tautologi/sinonimi:
— Kehendak dan keinginan kami
ialah supaya dia menjadi seorang yang berguna juga kelak.
— Siapa orang takkan tertarik
kepada orang yang ramah. baik hati, serta berbudi seperti dia.
5. Klimaks
Gaya bahasa yang mengandung
urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dan gagasan-gagasan
sebelumnya. Misalnya:
— Bukan hanya beratus, beribu,
malah berjuta orang yang telah menderita akibat peperangan.
— Dan kecil sampai dewasa, malah
sampai ini engkau belajar, tapi tak juga pandai-pandai?
6. Antiklimaks
Gaya bahasa yang mengandung
gagasan-gagasan yang diurutkan dan yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang
kurang penting. Contoh:
— Kakeknva. ayahnya. dia sendiri,
dan kini anaknya semuanya tak ada yang luput dan penyakit turunan
itu.
— Gedung-gedung. rumah-rumah, dan
gubug-gubug semuanya mengibarkan Sang Saka Merah Putih
pada han ulang tahun kemerdekaun
itu.
7. Inversi
Gaya bahasa inversi dipergunakan
bila predikat kalimat hendak lebih dipentingkan daripada subjeknya, lalu ditempatkan
di depan subjek. Misalnya:
— Besar sekali gajinya.
— Tak terkabul permintaannya.
8. Elipsis
Kalimat elipsis ialah kalimat
yang subjeknya atau predikatnya tak lagi disebutkan karena dianggap sudah
diketahui. Misalnya:
— Pergilah!
Kata pergilah
lebih mendapat tekanan dari pada bila kalimat itu bersubjek: Pergilah engkau!
— “Kalau masih
belum jelas akan kuterangkan sekali lagi.”
(apa yang akan
diterangkan tak disebutkan)
9. Retoris
Gaya bahasa penegasan mi
mempergunakan kalimat tanya yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Seringkali,
kalimat retoris menyatakan kesangsian atau bersifat mengejek.
Dalam bahasa pidato, kalimat retoris
digunakan bukan dimaksudkan untuk bertanya, melainkan untuk
menegaskan.
Menegaskan : “Mana mungkin orang nuiti hidup kembali?”
EJeka : “Inikah yang kau namai bekerja?”
(maksudnya hasil pekerjaanmu ini
sangat tidak memuaskan)
10. Koreksio
Gaya bahasa koreksio dipakai bila
akan membetulkan kembali hal yang sudah diucapkan baik yang diucapkan dengan
sengaja ataupun tidak. Contohnya:
— Ibu ada di dapur, ah. bukan, di
kamar mandi.
— Silakan pulang Saudara-Saudara,
eh. maaf, silakan makan!
(senda gurau terhadap kawan yang
akrab)
11. Asindeton
Beberapa hal, keadaan, atau benda
disebutkan berturut turut tanpa mempergunakan kata penghubung.
Contohnya:
— Meja. kursi. lemari ditaruh
saja dalam kamar itu.
— Kain-kain. barang pecah-belah.
mainan anak-anak semua ada dijual di toko itu.
12. Polisindeton
Jika gaya asindeton tidak
mempergunakan kata penghubung, maka gaya bahasa polisindeton mempergunakan
banyak kata penghubung dalam sebuah kalimat. Contohnya:
Setelah pekerjaannya selesai,
maka berkemas-kemaslah dia akan pulang karena han sudah mulai gelap, lagipula mendung-mendung
tanda han akan hujan.
13. Interupsi
Gaya bahasa penegasan yang
mempergunakan sisipan (kata atau frasa) di tengah-tengah kalimat pokok dengan maksud
untuk menjelaskan sesuatu.
Biasanya bagian yang merupakan
interupsi dituliskan di antara tanda kurung atau garis tanda pisah. Contohnya:
— Tiba-tiba ia—suami itu—direbut
oleh perempuan lain.
— Aku—kalau bukan terpaksa—takkan
mau melakukan pekerjaan ini.
14. Eksklamasio
Gaya bahasa yang menggunakan kata
seru untuk penegas. Misalnya:
— wah, biar, biar kupeluk, ah,
dengan tangan menggigil.
— Aduhai hidup. Nikmat nian
rasanya “kau hidup”.
15. Enumerasio
Beberapa peristiwa yang membentuk
satu kesatuan dilukiskan satu per satu supaya tampak jelas. Contohnya:
Laut tenang. Di atas permadani
biru itu tampak satu perahu nelayan berlayar perlahan-lahan.An gin berhembus
sepoi-sepoi. Bulan bersinar dengan terangnya. Di sana-sini bintang gemerlapan.
Semuanya berpadu membentuk suatu lukisan yang harmonis. Itulah keindahan
sejati.
16. Preterito
Dalam gaya bahasa ini, pengarang
seolah-olah menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu. Pembaca dibiarkan
mengungkapkan sendiri hal yang sengaja dihilangkan atau tidak disebutkan.
Contohnya:
— Tentang ramainya pasar malam
itu, tak usahlah kuceritakan dulu. Biarlah engkau sendiri menyaksikannya.
— Saya takkan berpanjang kalam
lagi tentang peristiwa itu. Nasi sudah menja4i bubur, apa hendak dikata.
Gaya Bahasa Pertentangan
1. Paradoks
Gaya bahasa yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga
berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya.
Contohnya:
— Dia kaya, tetapi miskin.
(maksudnya: kaya harta misalnya,
tetapi miskin ilmu)
— Gajinya besar, tetapi hidupnya
melarat.
(uang cukup, tetapi jiwa
menderita karena suatu yang dialami dalam hidupnya)
2. Antitesis
Gaya bahasa pertentangan yang
mempergunakan paduan kata yang berlawanan arti. Contohnya:
— Tua muda. besar kecil. pria wan
ita hadir dalam keramaian itu.
— Hidup matinva. susah senangnva
serahkanlah kepadaku.
3. Kontradiksio in terminis
Gaya bahasa ini memperlihatkan
sesuatu yang bertentangan dengan hal yang sudah diungkapkan semula. Contohnya:
— Semua sudah hadir, kecuali si
Amir.
(kalau masih ada yang belum
hadir, mengapa dikatakan ‘semua’ sudah hadir?)
— Di dalam kamar itu hening.
Tiada seorangpun di antara kami yang berkata-kata, masing-masing berdiam diri
dengan pikirannya sendiri-sendiri. Hanya jam di dinding yang terus kedengaran berdetak-detik.
(kalau sudah dikatakan hening,
tentu tak ada satu bunyi pun yang kedengaran)
4. Anakronisme
Gaya bahasa mi menunjukkan dalam
uraian ada sesuatu yang tak scsuai dengan sejarah. Sesuatu yang disebutkan dalam
sebuah cerita sebenarnya belum ada pada masa itu. Hal ini dapat terjadi karena
ketidaktelitian pengarang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Dalam Julius Caesar karya
Shakespeare, terdapat sebuah kalimat, “jam berbunyi 3 kali”, yang merupakan kesalahan
sejarah karena pada masa Julius Caesar, belum ada jam yang dapat berdentang.
Nice, artikenya oke
ReplyDelete